Sefrekuensi


Sumber: https://www.computerhope.com/jargon/f/frequenc.htm

Postingan asli dalam bahasa Inggris

Topik ini muncul setelah aku mengobrol panjang lebar dari hati ke hati dengan salah satu sahabatku, Magda. Aku bersyukur memiliki banyak sahabat di seluruh dunia. Definisi sahabat bagiku mungkin berbeda dengan definisi Anda, tetapi definisi ini cocok untukku dan sahabat-sahabatku.

Sahabat bagiku itu istimewa. Kita bisa langsung terhubung kembali, langsung cocok lagi meskipun jarang bertemu langsung. Segala bentuk komunikasi cocok untukku. Tentu saja, ini membutuhkan kepercayaan dan kedua belah pihak harus bersedia jujur satu sama lain.

Kuncinya adalah kejujuran. Harus ada dua sisi. Dan kedua belah pihak saling peduli. Daya tarik antara aku dan sahabat-sahabatku tak terbantahkan meskipun kami mungkin memiliki sikap yang berbeda. Bagiku, yang terpenting adalah kita harus menjadi manusia yang baik untuk menjadi sahabatku. Dan menjadi sahabat itu seumur hidup, dimulai dari saat kita saling mengenal hingga salah satu dari kita tiada di dunia ini. Persahabatan seumur hidup adalah sebuah komitmen, lho.

Aku sangat beruntung dan diberkati karena bertemu sahabat dari sekolah, universitas, online channels (Friendster, KoKi), dan bahkan dari surel "resmi". Persahabatanku pun tak terbatas usia, gender, ras, agama, dan penampilan fisik. Selama kita berada dalam frekuensi yang sama, kamu ada untukku, dan aku akan ada untukmu.

Aku juga menganggap suami sebagai sahabat sejak awal. Kami bisa mengobrol tanpa prasangka, dan dia adalah salah satu dari sedikit teman pria yang sepaham denganku, dan dia bersedia terus belajar agar bisa mengimbangiku. Itu poin yang sangat penting. Belajar seumur hidup.

Aku tidak tahan dengan orang "bodoh", maksudnya: aku tidak mau terus-terusan mengulang-ulang apa yang sudah kukatakan. Dan aku tidak suka orang yang menolak untuk belajar. Kita harus punya tekad untuk belajar.

Aku dibesarkan dan diberkati secara genetik dengan kemampuan belajar yang luar biasa. Baca entriku tentang nenek dari Mama yang baru mulai membaca Alkitab di usia 55 tahun! Itu bagian dari DNA-ku

Itulah sebabnya aku tidak sabar menghadapi sebagian besar SDM Indonesia yang enggan belajar. DTR (daya tangkap rendah) -- lambat dalam memahami masih bisa diterima, tetapi bagiku, tidak mau belajar itu hal yang tercela.

Tidak bekerja keras tetapi mau cepat kaya. OMG. Mana ada? Anak orang kaya yang gak mau kerja at the end of the day cuma buang duit ortunya. Misal: Donald Trump vs. bapaknya. Kalau duit bapaknya dikonversi ke nilai sekarang, masih lebih besar jumlahnya daripada duitnya Donald Trump! (Bisa cari artikel berbahasa Inggris yang membahas ini).

Tidak banyak orang yang memiliki kesempatan sepertiku untuk menemukan seseorang (hanya sedikit orang) yang memiliki frekuensi yang sama. Jika Anda menemukannya, hargai dia.

Untuk calon pasangan, carilah yang se-frekuensi dengan kebaikan, seiman (lebih mudah bertahan saat menghadapi pertentangan dalam kehidupan berumah tangga), sevisi dengan masa depan, anak, target finansial (yang penting bisa cari untung dan bisa kelola uang), mau berbagi tugas rumah tangga dan mengasuh anak.

Mau tinggal di mana, siapa yang atur duit bulanan bayar tagihan listrik, air, sekolah, les, maintenance, angpao, dst. Pastikan pasangan hidupmu bukan pengeruk harta yang mengincar asetmu/aset ortu/warisanmu nanti.

Tonton aja film/drama/sinetron semua bangsa/bahasa (Korea, Jepang, Cina, Hong Kong, Thailand, Spanyol, Brasil, Amrik, Inggris, Prancis, Portugis), masalahnya sama: pasangan yang tidak tulus, at the end hanya memperkaya diri untuk cari cowok/cewek lain. Sebagai penulis novel, aku bilang: ide cerita selalu terilhami oleh kisah nyata di sekitar!

Wealth management pensiun nanti. Jadi orang tua yang tidak merepotkan anak.

Banyak pernikahan yang gagal karena pasangan tidak pernah berdiskusi terlebih dahulu tentang agama, uang, pekerjaan rumah tangga, dan masa depan anak.

Yah, karena aku belum pernah resmi berpacaran dengan suami, aku juga tidak membahasnya secara spesifik, tetapi akutahu dia sepaham tentang agama dan pekerjaan rumah tangga. Dia mempelajari perspektifku tentang uang dan anak-anak. Kami berjuang untuk menjadi orang tua yang seimbang -- kami ingin anak-anak kami memiliki disiplin diri sekaligus tetap menikmati masa kecil mereka. Usia 3-4 tahun adalah yang paling menantang, menurutku. Banyak drama yang tidak masuk akal tentang makanan, tidur, dan mainan. Syukurlah semuanya sudah berakhir.

Aku bukan ibu yang terlalu ambisius, tetapi aku tidak tahan melihat anak-anak yang "tidak melakukan apa-apa" dan tetap mendapatkan nilai sempurna. Meskipun gen mereka bagus, mereka tetap perlu bekerja keras untuk mencapai standar dunia. Untuk menemukan vaksin, untuk menciptakan beberapa teknologi... dan masih banyak lagi. Anak harus lebih hebat daripada orang tua. Pada suatu masa, aku mau anak-anak juga sefrekuensi denganku soal misi hidup mereka "berguna bagi dunia"... Kurasa, mereka pasti bisa.