Ada banyak hal yang saya dan suami pelajari dari pengalaman tinggal di negara maju. Pertama adalah pentingnya vaksinasi. Setiap negara memiliki programnya sendiri, urutan vaksinasi, umur bayi saat divaksinasi, apakah ada jadwal vaksin booster, dan jumlah subsidi pemerintah. Yah soal urutan dan umur bayi, petunjuknya ada di edaran WHO yang memang ada beberapa vaksin dengan rentang waktu cukup luas.
Singapura contohnya, memiliki sistem vaksinasi wajib yang bagus. Begitu ibu melahirkan, bayi di RS divaksinasi Hepatitis B, dan diberi buku imunisasi yang wajib dibawa setiap kali kontrol bayi / jadwal suntik. Yang paling keren adalah buku ini juga merupakan syarat wajib saat mendaftar di SD mana pun. Ini menjamin bayi-bayi yang lahir dan berniat sekolah di Singapura untuk menunaikan daftar suntik sesuai buku. Beberapa vaksin boleh menggunakan CPF orang tua. CPF ini tabungan hari tua, wajib, langsung masuk ke Pemerintah, dipotong tiap bulan dari 20% gaji + 16% dari perusahaan.
Kaum antivaksin di Sg – bersiaplah home schooling… Bahkan sekolah internasional di Singapura juga mengikuti aturan Pemerintah ini. Kalau nggak suntik DPT dan Campak, siap-siap kena denda $500 untuk pelanggaran pertama, dan $1000 untuk pelanggaran kedua. Ciamik 😀
![]() | |
Kartu bayi jadul (sumber: Kaskus) |
Setahu saya, mami-mami kita juga punya kartu bayi sehat Kartu Menuju Sehat (KMS) – yang gambarnya ibu berkebaya sedang menyusui bayi… Sekarang ada versi PDF dan versi online (termasuk versi Android di Google Play). KMS non-digital jadul mencantumkan jadwal program vaksinasi di Posyandu, tetapi versi PDF dan online kok tidak ada ya?
Seandainya saya boleh memberi saran kepada Menteri Kesehatan RI, ayo maksimalkan KMS ini menjadi kartu wajib imunisasi untuk persyaratan masuk SD seperti yang telah dilakukan pemerintah Singapura. 🙂
![]() |
Isi KMS dengan daftar vaksin (sumber: Kaskus) |
Setiap habis vaksin di Sg, dokter selalu bertanya apakah kita sudah siap sedia obat penurun demam… Definisi demam: suhu bayi mencapai 37,5 derajat Celsius ke atas – diukur dengan termometer tradisional yang ditaruh di ketiak 2 menit, bukan termometer canggih. Lesson learnt: menurut dokter Sg, termometer scan dahi, termometer “pip” colok telinga itu tidak terlalu akurat.
Setiap habis vaksin, kitanya harus selalu ada persediaan sirup penurun panas. Do you know that dosis obat penurun panas itu dihitung dari berat badan bayi dan bukan usia bulanan si bayi?
Hal kedua yang kami pelajari dari Singapura dan Australia: untuk menumbuhkan minat baca, buatlah anak merasa perpustakaan adalah ruang bermain. State Library of Victoria di Melbourne (semacam Perpustakaan Daerah) dan juga National Library of Singapore mendedikasikan ruang khusus untuk perpustakaan anak. Tentu saja karena indoor, faktor keamanan dan keselamatan jadi lebih mudah – meja kursi berukuran anak-anak, alat-alat gambar, boneka/alat peraga, dsb.
![]() |
Children section, State Library of Victoria (sumber: ABC.net.au) |
![]() |
Gloria bangun tidur langsung bersemangat melihat alat gambar di State Library, Melbourne, Okt 2015 |
Anak-anak suka diajak ke perpustakaan, meski fokusnya lebih ke bermain. Mereka sangat suka buku yang gambarnya bagus-bagus dan mamanya juga suka 🙂
![]() |
Gloria dan Greg di National Library of Singapore di Bugis, Apr 2015 |
Setiap mengajak anak ke perpustakaan di LN, saya bernostalgia: zaman dahulu, sebelum punya anak, kalau stres, larinya ke perpustakaan, minjam buku banyak (sampai bawa tas traveling troli yang ada rodanya itu)… Perpustakaan = Surga.
![]() |
Gloria & Greg di National Library of Singapore, Juni 2017 |
Sekarang bagi anak-anak, Perpustakaan juga mirip-mirip Surga bermain karena banyak mainan, kalau bosan bisa cari buku dengan gambar-gambar bagus, minta dibacakan (saya sengaja tidak mau memaksa anak belajar membaca sebelum masuk SD, belajar dari kurikulum Finlandia), dan karena anak-anak tidak suka panas (terutama Greg), mereka bersyukur ada AC. Meski saya harus berkali-kali mengingatkan Gloria, ini Perpustakaan, tidak boleh teriak-teriak.
Meski suami sudah bisa membaca sewaktu 2,5 tahun (ikut belajar sewaktu kakaknya 6 tahun), tetapi saya masih kuno – begitu umurnya belajar baca, pasti langsung bisa baca – minat bacanya juga bakal lebih bagus. Tuh bule-bule banyak banget yang doyan baca meski baru bisa baca usia 6/7.
Di rumah, kami juga membuat ruang bermain/perpustakaan balita untuk anak-anak. Alasnya matras warna-warni yang tebal. Di sini anak bebas melakukan apa pun yang mereka suka,membaca (melihat gambar), menyusun puzzle, perosotan, berkemah… dan kalau sudah capek, bisa bobok di matras. Adik saya berkomentar, seandainya dia masih anak-anak, kalau sudah capek, dia bakal galau apakah mau tidur atau terus bermain… 😀
Semoga tulisan ini menginspirasi pembaca untuk menciptakan ruang bermain sekaligus belajar bagi anak-anak.
![]() |
Komentar di blog asli postingan ini |